Sabtu, 30 Juli 2011

Khilafah Diatas Minhaj Nubuwwah












Judul di atas merupakan cuplikan dari sebuah hadits Nabawi yang diriwayatkan
oleh Al-Imam Ahmad dari shahabat Hudzaifah:




تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثَمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً عَاضًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً جَبْرِيًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ. ثُمَّ سَكَتَ
 


“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah
mengangkat atau menghilangkannya kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa
khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki, kemudian Allah
mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat
selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah
menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki,
kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa
kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad,
4/273, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 5)



Dalam hadits di atas sangat jelas bahwa khilafah di atas manhaj nubuwwah (jalan
Nabi) merupakan suatu karunia Allah semata. Tak seorang muslim pun yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya kecuali pasti dia akan mengharapkan terwujudnya
khilafah tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dengan tegas
mengatakan bahwa hal itu pasti terjadi pada umat ini. Janji ini telah
teralisasi pada masa generasi terbaik umat ini, dan Allah tetap menjanjikan
kepada umat ini akan terwujudnya kembali khilafah tersebut di tengah-tengah
mereka jika memang syarat-syaratnya telah dipenuhi, sebagaimana firman-Nya:



وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِي
لاَ يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
 


“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kalian dan
mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia dia benar-benar akan menggantikan
kondisi mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.
Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasiq.” (An-Nur: 55)



Barangsiapa yang ingin mengetahui bagaimana gambaran Khilafah ‘ala Manhajin
Nubuwwah, maka hendaknya dia melihat pada daulah yang dipimpin oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para Khulafa`
ur Rasyidin sepeninggal beliau.

Secara ringkas gambarannya adalah: Sebuah khilafah yang didirikan di atas
tauhid dan dakwah menuju kepada tauhid, ditegakkannya Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam serta dakwah menuju kepada As Sunnah. Diperanginya
kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya, sehingga tidak ada lagi peribadatan
yang diberikan kepada selain Allah. Diperanginya segala bentuk bid’ah baik
dalam akidah, ibadah, maupun muamalah. Ditegakkannya syariat Islam oleh setiap
muslim sebelum ditegakkan oleh pemerintahnya. Kondisi masyarakatnya senantiasa
mengutamakan dan mementingkan ilmu syar’i, jauh dari kungkungan filsafat dan
pengagungan rasio. Masyarakatnya taat dan patuh kepada pemerintah serta
menegakkan jihad syar’i [3] bersama pemerintah. Merekalah generasi terbaik yang
dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam di dalam haditsnya:



خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang
setelahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu
‘anhu)



Itulah gambaran singkat Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Bukan seperti yang
dikhayalkan oleh sebagian aktivis pergerakan Islam dan para pengikutnya. Tidak
mungkin khilafah tersebut akan terwujud melalui tangan orang-orang yang
berakidah Tashawwuf, Mu’tazilah, Qadariyah, dan sebagainya, sebagaimana hal ini
didapati pada sebagian aktivis kelompok Al-Ikhwanul Muslimun dan Hizbut Tahrir.

Dan tidak mungkin pula khilafah tersebut akan tegak di tengah-tengah umat yang
masih meremehkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bergelimang
dalam berbagai macam bid’ah baik dalam akidah, ibadah, dakwah, dan muamalah.
Semoga Allah Ta’ala melindungi dan membimbing umat ini pada jalan yang lurus.

Dari hadits Hudzaifah di atas, jelas bagi kita bahwa meskipun suatu negara atau
pemerintah tidak berbentuk khilafah -baik itu berbentuk kerajaan, republik,
parlementer atau yang lainnya- selama masih memenuhi kriteria dan definisi sebagai
negara Islam, maka statusnya tetap sebagai negara Islam. Sehingga kewajiban
mendengar dan taat tetap berlaku dan tidak boleh memberontak kepadanya, bahkan
meskipun pemerintah yang zalim dan banyak memakan ‘uang rakyat’ sekalipun.



Pada kesempatan ini pula, kami mengingatkan kepada pihak-pihak yang apriori dan
pesimis serta berpandangan negatif terhadap Khilafah Islamiyyah, yang banyak
dimunculkan oleh orang-orang yang telah menimba ilmu dari negeri Barat dan pola
pikir mereka telah dipenuhi oleh cara-cara berpikir Yahudi dan Nashara serta
kaum filosof.



Perbedaan Daulah Islamiyyah dan Daulah Kafirah

Diantara polemik yang sering muncul di tengah-tengah umat Islam dan telah
menimbulkan banyak kekeliruan di dalam memahaminya, sehingga berujung pada
sikap dan tindakan yang keliru, adalah pemahaman tentang definisi Daulah
Islamiyyah dan Daulah Kafirah. Kapan sebuah negara dinyatakan sebagai Daulah
Islamiyyah dan kapan dinyatakan sebagai Daulah Kafirah.



Telah dibahas dalam rubrik Manhaji (di majalah ini) bahwa tolok ukur suatu
negara dinyatakan sebagai Daulah Islamiyyah atau Daulah Kafirah adalah kondisi
penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan
yang mendominasi negeri tersebut, sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah. (Majmu’ Fatawa, 18/282)



Sebagian ulama menyebutkan bahwa Daulah Islamiyyah adalah: Sebuah daulah yang
mayoritas penduduknya muslimin dan ditegakkan padanya syi’ar-syi’ar Islam
seperti adzan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, shalat ‘Id, dalam bentuk
pelaksanaan yang bersifat umum dan menyeluruh. Dengan demikian, jika
pelaksanaan syi’ar-syi’ar Islam itu diterapkan tidak dalam bentuk yang umum dan
menyeluruh, namun hanya terbatas pada minoritas muslimin maka negeri tersebut
tidak tergolong negeri Islam. Hal ini sebagaimana yang terjadi di beberapa
negara di Eropa, Amerika, dan yang lainnya dimana syi’ar-syi’ar Islam dilakukan
oleh segelintir muslimin yang jumlahnya minoritas. (lihat penjelasan ini dalam
kitab Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
rahimahullah)

Sehingga dengan demikian, negeri seperti Indonesia ini adalah termasuk negeri
Islam. Karena syi’ar-syi’ar Islam, baik shalat berjamaah, shalat Jumat, shalat
‘Id, dilaksanakan secara umum di negeri ini. Demikian juga, adzan senantiasa
berkumandang setiap waktu shalat di masjid-masjid kaum muslimin.



Beranjak dari definisi dan pemahaman yang keliru tentang Daulah Islamiyyah dan
Daulah Kafirah, banyak dari aktivis teroris (neo-Khawarij) menghukumi sekian
negara-negara muslimin sebagai negara kafir. Diantara mereka adalah:

Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin [1], ketika dia menggambarkan bahwa
kekufuran itu bertingkat-tingkat, dimana dia berkata:

Peringkat Pertama: Pimpinan Amerika Serikat, George Bush, yang bisa jadi
berikutnya adalah Clinton (waktu itu, red)

Peringkat Kedua: Penguasa-penguasa negeri Arab, dimana mereka (para penguasa
Arab itu) berkeyakinan bahwa manfaat dan madharat mereka ada di tangan Bush.
Sehingga atas dasar itu mereka pergi ‘berhaji’ menuju kepadanya (Bush) serta
mempersembahkan nadzar dan kurban.

Peringkat Ketiga: Para kaki tangan pemerintah/penguasa Arab, baik para menteri
dan wakil-wakil, pimpinan militer, dan....

Peringkat keempat, kelima, dan keenam: Para staf kementerian…. (ucapan ini
dikutip dari Majallah As-Sunnah edisi XXVI th. 1413 H; hal. 2-3)



Usamah bin Laden

Sebagaimana dimuat dalam koran Ar-Ra`yil ‘Am Al-Kuwaiti edisi 11-11-2001 M,
Usamah bin Ladin menjawab: “Hanya Afghanistan sajalah Daulah Islamiyyah itu.
Adapun Pakistan dia memakai undang-undang Inggris. Dan saya tidak menganggap
Saudi itu sebagai negara Islam…”

Jika para tokoh teroris tersebut telah menghukumi negara Arab, terkhusus Saudi
Arabia sebagai negara kafir —padahal di Saudi Arabia telah diterapkan
syi’ar-syi’ar Islam secara umum dan menyeluruh bahkan ditegakkan pula
hukum-hukum had dan hukum Islam yang lainnya—maka apakah kiranya penilaian
mereka terhadap negara seperti Indonesia ini?

Akibat dari keputusan tersebut di atas (pengkafiran terhadap negara-negara Islam)
melahirkan keputusan berikutnya, yaitu: kewajiban memerangi negara-negara
tersebut (yang telah dihukumi kafir).

Kita berdoa kepada Allah Ta’ala semoga memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada
kaum muslimin untuk kembali kepada jalan pemahaman yang lurus, yaitu pemahaman
as-salafush shalih, generasi terbaik umat ini.



Dengan Apa Khilafah Islamiyyah bisa Terwujud ?

Daulah Islamiyyah, atau yang terkadang diistilahkan dengan Khilafah Islamiyyah,
yang ditegakkan padanya tauhid dan peribadahan kepada Allah Ta’ala semata,
dihidupkan padanya Sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam serta
diaplikasikannya seluruh syi’ar dan hukum Islam, adalah dambaan bagi setiap
muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir. Namun sebuah pertanyaan
besar yang harus diajukan dalam kondisi ini adalah: Bagaimana dan dengan apa
Daulah Islamiyyah tersebut bisa ada dan bersemi di bumi Allah Ta’ala ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka sebelumnya kita semua harus tahu dan
ingat bahwa generasi awal umat ini yang diperankan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam dan para shahabatnya telah berhasil -dengan izin Allah-
menggapai Daulah Islamiyyah tersebut. Maka tentunya, setiap muslim yang
berharap terwujudnya Khilafah Islamiyyah di bumi Allah Ta’ala ini, akan
menjadikan jejak langkah generasi yang telah berhasil itu sebagai contoh dan
suri teladan baginya dalam usaha mewujudkan Daulah Islamiyyah. Suatu perkara
yang mustahil, hal itu akan terwujud tanpa meneladani jejak langkah generasi
yang telah berhasil. Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Imam Malik rahimahullah:



لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا

“Tidak akan menjadi baik (stabil) generasi akhir umat ini kecuali dengan
perkara-perkara yang dengannya telah menjadi baik (stabil) generasi awal umat
ini.”



Atas dasar itulah kami mengajak semua pihak, yang mengklaim dirinya berharap
terwujudnya Daulah Islamiyyah, untuk dengan jujur, sportif, dan sungguh-sungguh
menengok dan merujuk kepada jejak langkah generasi terbaik umat ini. Dengan
meninggalkan segala bentuk ra`yu, pikiran, dan cara yang sama sekali tidak
dilandasi oleh jejak langkah generasi awal umat ini, karena hal itu tidak lain
hanya akan mendatangkan kehancuran.



كُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ وَكُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفَ

Segala bentuk kebaikan didapati pada sikap ittiba’ (mengikuti) jejak (generasi)
Salaf. Dan segala bentuk kejahatan didapati pada tindakan ibtida’ (mengada-ada)
oleh generasi belakangan.



Untuk itu, ada beberapa hal penting yang menjadi sebab utama bagi terwujudnya
Khilafah Islamiyyah yang didamba-dambakan itu. Apabila sebab-sebab utama ini
diabaikan oleh kaum muslimin maka pupuslah harapan tersebut dan mustahil
dambaan tersebut akan bisa terwujud. Sebab-sebab itu antara lain:

1. Kembalinya umat Islam secara menyeluruh kepada bimbingan Al Qur`an dan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sesuai dengan apa yang telah
difahami dan diamalkan oleh Salaful Ummah. Sehingga dengan itu mereka selamat
dari berbagai macam bentuk bid’ah dan kesesatan, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam:



تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتاَبَ اللهِ وَسُنَّتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَى الْحَوْضِ

“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya
tidak akan berselisih sampai keduanya mendatangiku di Al-Haudh.” (HR. Malik dan
Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Sanadnya hasan.”)





Sikap kembali dan ruju’ kepada Al-Kitab dan As Sunnah sesuai dengan yang
difahami oleh Salaful Ummah ini sangat menentukan keberhasilan dan keselamatan
umat ini dari kehancuran, dan merupakan salah satu syarat keberhasilan umat
Islam. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam dalam haditsnya:



إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ
وَأَخَذْتُمْ أَذْناَبَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ، لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah2, dan kalian telah
disibukkan dengan memegang ekor-ekor sapi, dan telah senang dengan bercocok
tanam, serta kalian telah meninggalkan jihad, niscaya Allah akan timpakan
kepada kalian kehinaan. Tidak akan dicabut kehinaan tersebut sampai kalian
kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud, Ahmad. Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 11)



2. Syarat yang kedua untuk terwujudnya Khilafah Islamiyyah bagi kaum muslimin
adalah: Terealisasinya keimanan yang murni dan benar dalam semua perkara yang
telah Allah wajibkan untuk kita imani secara kaffah (menyeluruh).



Beriman kepada Allah, bahwasanya Dialah Dzat satu-satunya yang berhak untuk
diibadahi, tanpa yang lain-Nya, Yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang
mulia sesuai dengan apa yang diberitakan oleh-Nya di dalam Al Qur`an atau
diberitakan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam. Dan tidak didapati di
muka bumi ini kaum muslimin melakukan kesyirikan dengan berbagai macam
bentuknya. Tidak didapati di muka bumi ini orang-orang yang berdoa dan
ber-istighatsah kepada kubur-kubur, atau menyerahkan sesajen kepada jin atau
kepada orang-orang yang dianggap wali. Tidak pula didapati orang-orang yang
mengingkari sifat-sifat Allah baik dengan cara menolaknya secara mutlak
sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Jahmiyah dan Al-Mu’tazilah, atau dengan cara
penyelewengan makna dan sifat-sifat Allah tersebut sebagaimana yang dilakukan
oleh kelompok Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah.



Mengimani bahwa Allah ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya di atas langit yang
ketujuh, dan tidak ada lagi yang meyakini keyakinan-keyakinan batil dan sesat
yang menyatakan bahwa Allah berada di setiap tempat (dimana-mana), bahkan
bersatu dengan tubuh makluk-makhluk-Nya. Akidah sesat semacam ini tidak hanya
menjangkiti orang-orang awam dari kaum muslimin, bahkan telah menimpa dan
disebarkan oleh beberapa aktivitis pergerakan Islam, yang tidak jarang diantara
mereka mendengung-dengungkan kewajiban mendirikan Khilafah Islamiyyah di
tengah-tengah umat. Diantara beberapa aktivis pergerakan Islam itu sendiri,
tidak jarang pula yang terjatuh dalam perbuatan syirik dan bid’ah. Diantaranya
seperti yang dilakukan salah satu tokoh kelompok sempalan: Ikhwanul Muslimin di
Syiria yang bernama Musthafa As-Siba’i (bahkan Hasan Al-Banna). Yaitu ketika
dia membacakan bait syair yang berisi doa dan istighatsah kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam yang dia dendangkan di depan pintu kubur
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Diantaranya dia menyatakan:



يَا سَيِّدِي يَا حَبِيْبَ اللهِ جِئْتُ إِلَى

أَعْتاَبِ بَابِكَ أَشْكُو الْبُرْحَ مِنْ سَقَمِي

“Wahai tuanku, wahai kekasih Allah, aku telah datang. Di hadapan kusen (ambang)
pintumu mengadukan derita karena penyakitku.”



Dalam bait syair tersebut dia (Musthafa) ber-istighatsah kepada Nabi,
memanggilnya, dan mengeluhkan penyakitnya kepada beliau. Jelas-jelas ini
merupakan syirik besar yang bisa mengancam pelakunya keluar dari Islam.



Kalau kesyirikan besar semacam ini telah menimpa salah seorang tokoh besar kelompok
sempalan Ikhwanul Muslimin yang selalu mengelu-elukan Khilafah Islamiyyah, lalu
bagaimanakan kiranya yang terjadi pada para pengikut kelompok sempalan
tersebut? Lebih-lebih lagi, bagaimana pula dengan yang terjadi pada orang-orang
awam dari kalangan muslimin? Tentu dengan itu Allah tidak akan mewujudkan
janji-Nya bagi umat ini untuk memberikan khilafah kepada mereka, sebagaimana
firman-Nya di dalam Surat An-Nur ayat 55.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar