src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu, berkata:
فَرَضَ
رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ
تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ,
وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ
اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ
إِلَى اَلصَّلَاةِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْه
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum,
atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan
orang besar dari kalangan orang Islam. Dan beliau memerintahkan agar
ditunaikan sebelum orang-orang pergi menunaikan shalat ('idul Fitri)."
(Muttafaq Alaih)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
telah menerangkan dalam hadits di atas bahwa zakat fitrah diwajibkan
atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki atau perempuan, dan
orang merdeka atau hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil ditanggung
zakatnya oleh walinya.
Zakat fitrah diwajibkan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki atau perempuan, dan orang merdeka atau hamba sahaya.
Ibnu Hajar rahimahullah
berkata: "Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan
atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju pada walinya. Dengan
demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut.
Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang menanggung nafkahnya, ini
merupakan pendapat jumhur ulama." (Fathul Bari 3/369; lihat at-Tamhid
14/326-328, 335-336).
Nafi' radliyallahu 'anhu mengatakan:
"Dahulu Ibnu 'Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga
dulu, dia benar-benar menunaikan zakat anakku." (Shahih, HR. Bukhari)
Demikian juga bagi budak hamba sahaya, zakatnya diwakilkan oleh tuannya. (Fathul Bari 3/369).
Apakah selain muslim terkena kewajiban zakat?
Sebagai contoh seorang anak yang kafir, apakah ayahnya yang muslim berkewajiban mengeluarkan zakatnya?
Jawabnya: tidak. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
memberikan catatan pada ujung hadits di atas, bahwa kewajiban itu
berlaku bagi orang Islam. walaupun dalam hal ini ada juga yang
berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun, pendapat tersebut tidak
kuat, karena tidak sesuai dengan dzahir hadits.
Apakah janin wajib dizakati?
Janin tidak wajib dizakati. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
mewajibkan zakat fitrah kepada anak kecil, sedangkan janin tidak
disebut anak kecil, baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul
Mundzir rahimahullah menukilkan ijma' tidak diwajibkannya zakat
fitrah atas janin. Walaupun juga, ada yang berpendapat bahwa janin
tetap dizakati. Seperti sebagian riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Hazm dengan
catatan bahwa janin tersebut sudah berumur 120 hari.
Pendapat lain dari Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai dengan hadits.
Orang tidak mampu apa wajib zakat?
Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan: "bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakannya
kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut tidak gugur
darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak
mampu semenjak kewajiban itu mengenainya." (Badai'ul Fawaid 4/33).
Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan:
"barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk
malam hari raya dan siangnya, maka tidak berkewajiban membayar zakat
fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus
mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah)."
(ad-Darari 1/365, ar-Raudhatun Nadiyyah 1/553, lihat pula fatawa Lajnah
Daimah 9/369).
Dalam bentuk apa zakat fitrah dikeluarkan?
Dalam hal ini dijelaskan oleh hadits Abu Sa'id al-Khudri radliyallah 'anhu, berkata: "kami memberikan zakat fitrah di zaman nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebanyak 1 sha' dari makanan, I sha' kurma, 1 Sha' gandum, ataupun 1 Sha' kismis (anggur kering)." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kata "makanan" maksudnya adalah makanan
pokok penduduk suatu negeri, bisa berupa gandum, jagung, beras, atau
lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa'id yang lain,
beliau mengatakan:
"kami mengeluarkan (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pada hari 'Idul Fitri." Beliau mengatakan lagi, "dan makanan kami pada
saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, kurma." (HR. Bukhari).
Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan
untuk memberikan makan bagi fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi
sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang
tepat.
فَرَضَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِينِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang-orang yang berpuasa
dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian
makanan untuk orang-orang miskin." (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)
Inilah pendapat yang kuat yang dipilih
jumhur (mayoritas) ulama. Di antaranya pendapat Imam Malik, Imam
Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Mundzir, Ibnul Qayyim,
Ibnu Bazz, dan lainnya.
Ada juga pendapat yang membatasi zakat
fitrah hanya dalam bentuk yang disebutkan dalam hadits Nabi. Ini hanya
salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Namun, pendapat ini lemah.
Bolehkah mengeluarkannya dalam bentuk uang?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama dalam hal ini. Pendapat pertama, tidak boleh mengeluarkan dalam
bentuk uang. Ini adalah pendapat Imam Malik, asy-Syafi'i, Ahmad, dan Abu
Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan,
sehingga tak boleh menyelisihinya. Zakat juga tidak lepas dari bagian
ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah subhanahu wata'ala.
Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan
sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan
dengan apa yang disebutkan dalam hadits.
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan,
"Ucapan-ucapan Imam Syafi'i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan
zakat dengan nilainya (uang)." (al-Majmu': 5/401).
Abu Dawud rahimahullah
mengatakan, "aku mendengar Imam Ahmad ditanya: 'bolehkan saya memberi
uang dirham –yakni dalam zakat fitrah-?' beliau menjawab: 'saya khawatir
tidak sah, menyelisihi sunnah Rasulullah'."
Abu Dawud rahimahullah
mengatakan, "aku mendengar Imam Ahmad ditanya: 'bolehkan saya memberi
uang dirham –yakni dalam zakat fitrah-?' beliau menjawab: 'saya khawatir
tidak sah, menyelisihi sunnah Rasulullah'."
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, "Yang tampak dari Madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada zakat (fitrah)." (al-Mughni, 4/295).
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dan Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahumullah. (lihat Fatawa Ramadlan, 2/918-928).
Pendapat kedua, boleh mengeluarkannya
dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib ia keluarkan dari
zakatnya, dan tidak ada beda antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah. Dan pendapat pertama itulah yang kuat.
Atas dasar itu, bila seorang muzakki
(yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil
diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki.
Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras, misalnya, untuk muzakki dan
menyalurkannya kepada fuqara' dalam bentuk beras, bukan uang.
Namun, sebagian ulama membolehkan
mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak
secara mutlak. Yaitu ketika hal itu lebih bermaslahat bagi orang-orang
fakir dan lebih mempermudah bagi orang kaya.
Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Beliau berkata, "boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan
dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun dan tanamannya.
Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka
sah. Ia tidak perlu membeli kurma atau gandum terlebih dahulu. Imam
Ahmad telah menyebutkan kebolehannya." (Dinukil dari Tamamul Minnah,
hal. 380).
Beliau juga mengatakan dalam Majmu'
Fatawa (25/82-83), "yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang
tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh . . . . .
karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka boleh
jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi juga
dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan. . . . Adapun
mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka
tidak mengapa . . . ."
Ibnu Taimiyyah: "yang kuat dalam masalah
ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang
kuat maka tidak boleh."
Pendapat ini dipilih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah sebagaimana disebutkan dalam Tamamul Minnah. (hal. 379-380).
Jika memilih pendapat ini, yang perlu
diperhatikan, haruslah sangat memperhatikan sisi maslahat yang
disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga
berakibat menggampangkan masalah ini.
Ukuran yang dikeluarkan
Dari hadits-hadits yang lalu, jelas sekali bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha;. Tapi berapa 1 sha' itu?
1 sha' sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 Mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.
Berapa bila diukur dengan kilogram (Kg)?
tentu yang demikian ini tidak bisa tepat dan hanya bisa
diperkirakan/ditaksir. Oleh karenanya, ulama pun berbeda pendapat ketika
mengukurnya dengan kilogram.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz memperkirakan 3 Kg. (Fatawa al-Lajnah, 9/371).
Zakat Fitrah : (kurang lebih) 2.040 kg menurut Syaikh Ibnu Utaimin, 3 Kg menurut Lajnah Daimah. Dan dalam Wikipedia 2,5 Kg.
Adapun Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 Kg. (Fatwa Arkanil Islam, hal. 429).
Allahualam Bishowab
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Tidak ada komentar:
Posting Komentar