Jumat, 29 Juli 2011

Membongkar Kebohongan & Penyesatan Buku ''Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi''











Waspadai
buku “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI: Mereka Membunuh Semuanya
Termasuk Para Ulama.” Buku yang diberi Kata Pengantar oleh Ketua PBNU,
Prof KH Said Agil Siraj ini penuh dengan kesesatan, antara lain: menebar
provokasi kebencian dan permusuhan sesama Muslim, mengajarkan rasisme,
penuh kecurangan dan kebohongan, mempromosikan ajaran Syi’ah, memicu
pertikaian besar sesama kaum Muslimin, terang-terangan mengajarkan
prinsip-prinsip kesesatan, mengajarkan sikap kurang ajar kepada para
Ulama, memakai metode intelijen untuk mengadu-domba umat Islam, dan
mendukung serangan kaum Islamophobia terhadap dakwah.







Oleh: AM. Waskito



Di tahun 2011 ini muncul sebuah kejutan
khususnya di lapangan dakwah Islam di tanah Air, yaitu dengan terbitnya
sebuah buku berjudul: “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.
Buku ini karya orang Indonesia, tetapi disamarkan seolah penulisnya
adalah orang Arab. Si penulis menyebut dirinya sebagai Syaikh Idahram,
sebuah nama yang terasa asing di kancah dakwah.



Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”
–selanjutnya disingkat dengan SBSSW– ini sangat berbahaya kalau
tersebar luas ke tengah masyarakat. Dilihat dari judulnya saja, tampak sangar,
provokatif, dan berpotensi menjerumuskan kaum Muslimin dalam pertikaian
tanpa kesudahan. Buku SBSSW ini tidak layak diklaim sebagai buku
ilmiah. Bisa dikatakan, buku ini adalah buku adu-domba,
yang ditulis oleh orang Syiah dan Liberal, dalam rangka membenturkan
sekelompok Ummat Islam dengan kelompok lainnya. Bahkan ia sudah masuk
kategori buku Black Champaign.



Kita harus belajar dari
kejadian-kejadian aktual di tengah masyarakat. Misalnya kerusuhan di
Cikeusik Banten yang menimpa penganut Ahmadiyyah. Kerusuhan itu sudah
direkayasa sedemikian rupa; disana telah dipersiapkan barisan
provokator, penyerang bersenjata, pengambil gambar, korban, tukang upload
video di internet, dll. Lalu pasca kejadian itu, dibuat rekayasa opini
yang sangat keji melalui media-media TV. Dalam opini yang dikembangkan,
digambarkan betapa beringas sikap aktivis Islam kepada kaum Ahmadiyyah.
Padahal pihak Ahmadiyyah sendiri melalui pimpinannya (Deden) sejak awal
sudah menginginkan terjadi kerusuhan di tempat tersebut. Akibat
kerusuhan ini, para aktivis Liberal (baca: kaum non Muslim) berkoar-koar
meminta supaya FPI dibubarkan. Kejadian itu mencerminkan skenario
adu-domba, permusuhan, dan penyesatan opini. Kaum Liberal (non Muslim)
yang kebanyakan adalah anak-cucu kaum PKI di tahun 1965 dulu, mereka
selalu berada di balik aksi-aksi jahat untuk menghancurkan citra kaum
Muslimin dan merusak persatuan Ummat. Di balik beredarnya buku SBSSW
tercium aroma kuat modus serupa, berupa adu domba dan penyesatan opini.
Semoga Allah Ta’ala mengekalkan laknat, kehancuran usaha, kesusahan
hidup, serta kehinaan, atas kaum pendosa yang selalu memfitnah Islam dan
kaum Muslimin itu. Amin Allahumma amin, ya ‘Aziz ya Jabbar ya Mutakabbir.



Buku ini bisa memicu banyak bahaya di
tengah-tengah kehidupan kaum Muslimin. Disini kita akan membahas
sisi-sisi bahaya tersebut, antara lain sebagai berikut:



1. Menebar provokasi kebencian dan permusuhan sesama Muslim




Buku ini memprovokasi masyarakat untuk membenci dan memusuhi apa yang oleh penulis disebut sebagai sekte Salafi Wahabi. Menyebarkan kebencian seperti itu jelas sangat dilarang dalam Islam.



Dalam hadits Nabi SAW bersabda, “Seorang
Muslim itu saudara Muslim yang lain, tidak boleh menzhaliminya,
membiarkannya dizhalimi, dan menghinanya. Taqwa itu di sini –kata Nabi
sambil menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukuplah seseorang disebut
berbuat jahat jika dia menghina saudara Muslimnya)” [HR. Muslim].



2. Mengajarkan rasisme yang sangat berbahaya




Buku ini mengandung ajaran-ajaran RASIS
yang sangat berbahaya. Penulisnya mengajak Ummat Islam memusuhi negara
Saudi, para ulamanya, kaum santrinya, serta Pemerintahannya. Selain itu
penulis buku itu juga mengajak memusuhi siapa saja, di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia, yang mendukung paham Wahabi.



Salah satu bukti sikap RASIS dari penulis buku ini ada di hal. 174. Disana dia mengatakan: “Tanduk
setan itu berasal dari keturunan Bani Tamim. Sedangkan kita tahu bahwa,
pendiri Salafi Wahabi itu juga berasal dari keturunan yang sama, yaitu
Bani Tamim, sebagaimana gelar yang selalu dipakainya: Muhammad Ibnu
Abdul Wahhab an Najdi at Tamimi. Jadi klop sudah. Bukan dibuat-buat.
” (SBSSW,
hal. 174). Dalam halaman yang cukup banyak penulis ini menghancurkan
nama baik wilayah Najd, di Saudi. Salah satunya dia katakan: “Dari Najd timbul berbagai kegoncangan, fitnah-fitnah, dan dari sana munculnya tanduk setan.” (SBSSW, hal. 158).



Anehnya vonis “tanduk setan” terhadap
Najd dan penduduknya ini tidak dilakukan, kecuali setelah di Najd
bangkit dakwah Wahabi. Artinya, vonis itu mengandung niat busuk. Kalau
misalnya wilayah Najd dianggap “tanduk setan”, seharusnya mereka sudah
melontarkan vonis jauh-jauh hari sebelum muncul gerakan dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab. Bahkan seharusnya, mereka dan Khilafah
Utsmani di Turki tidak boleh marah ketika Najd direbut oleh keluarga
Ibnu Saud. Ya buat apa marah, wong Najd sudah divonis sebagai
“tanduk setan” kok? Malah mereka seharusnya bersyukur, ada manusia yang
mau mengolah wilayah “tanduk setan” itu. Kalau melihat dendam kesumat
kaum anti Wahabi, baik dari sisi kaum Alawiyyun atau kaum Syiah, masalah
sebenarnya bukan ke persoalan Najd sebagai “tanduk setan.” Tetapi Najd
yang semula dikuasai keluarga Syarif Hussein selama 700 tahun, lalu
berpindah kekuasaan ke tangan Ibnu Saud. Itu sebenarnya masalah utama di
balik munculnya hadits-hadits soal Najd sebagai “tanduk setan” ini.
Bisa jadi, ketika 700 tahun Najd dikuasai keluarga Syarif, mereka tidak
banyak menyinggung soal Najd sebagai “tanduk setan.”



Bukan hanya Bani Tamim atau penduduk Najd yang dilecehkan penulis, dia juga melecehkan orang Arab.



Dalam bukunya dia berkata: “Tidak semua orang Arab mengerti agama, bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal.” (SBSSW, hal. 224).



Padahal Nabi SAW menyebut bahwa puncak
fitnah itu ada saat kedatangan dajjal. Bahkan kata beliau, para Nabi dan
Rasul selalu mengingatkan ummatnya tentang dajjal ini. Lalu kini, si
penulis menuduh banyak orang Arab ‘lebih dajjal’ dari dajjal sendiri. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun.
Berarti dalam hal ini penulis merasa lebih pintar dari Nabi SAW? Masya
Allah!! Banyak bukti-bukti sikap RASIS dari si penulis yang menyebut
diri Syaikh Idahram ini. Dan sikap RASIS ini sudah menjadi ciri khas
kaum Syiah dan penganut SEPILIS.



Para penganut Syiah di Indonesia banyak
dari keturunan Arab Yaman (Hadramaut). Mereka itu orang Arab, atau
keturunan Arab. Padahal dalam akidah Syiah, jika nanti turun Imam Al
Mahdi Al Qaim, dia akan membabat habis bangsa Arab, hanya menyisakan
kaum Persia. Begitu keyakinan mereka. (Mengapa Saya Keluar dari Syiah,
karya Sayyid Hussein Al Musawi, hal. 134-135). Pemimpin FPI, Habib
Rieziq Shihab, pernah menulis sebuah makalah ilmiah tentang karakter
RASIS kaum Liberal.



3. Penuh kecurangan dan kebohongan




Buku ini penuh kecurangan dan
kebohongan. Penulis secara sadar mengacaukan akal para pembaca dengan
data-data, kutipan, referensi, dll. Tetapi semua itu tidak dituangkan
dalam suatu pembahasan ilmiah secara jujur.



Contoh, ketika dia menyebutkan kekejaman kaum Wahabi di hal. 61-138, bab tentang, “Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama.”
Disini yang diceritakan penulis hanya kekejaman, keganasan, kesadisan,
serta angkara murka kaum Wahabi. Tetapi penulis tidak pernah sedikit pun
mengakui bahwa semua itu merupakan bentuk KONFLIK POLITIK antara
keluarga-keluarga Emir (bangsawan) di Jazirah Arab.



Konflik seperti itu sudah terjadi sejak
lama di Jazirah Arab, bahkan sebelum Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
dilahirkan oleh ibunya. Penulis ini juga hanya menghujat posisi Kerajaan
Saudi, padahal yang melepaskan diri dari Khilafah Utsmani Turki bukan
hanya Saudi. Disana ada Yaman, Bahrain, UEA, Qatar, Irak, Oman, Mesir,
Yordania, Syria, dll. Kecurangan yang dibungkus kemasan ilmiah, tentu
lebih berbahaya, sebab ia akan dikira sebagai kebenaran yang tak
terbantahkan.



4. Mempromosikan ajaran Syi’ah




Buku ini juga mempromosikan
ajaran-ajaran Syiah. Banyak indikasi-indikasi yang membuktikan hal itu
dalam buku SBSSW. Nanti akan kita bahas secara khusus tentang akidah
yang dianut penulis (Syaikh Idahram). Salah satu contoh kecil, sangat
halus, tetapi kelihatan. Perhatikan kalimat berikut ini: “Pada bulan Safar 1221 H/1806 M, Saud menyerang an Najaf al Asyraf,
namun hanya sampai di As Sur (pagar perlindungan). Meskipun gagal
menguasai An Najaf, tetapi banyak penduduk tak berdosa mati terbunuh.
” (SBSSW, hal. 104-105).



Tidak ada seorang pun Ahlus Sunnah yang menyebut Kota Najaf dengan sebutan Al Asyraf. Hanya orang Syiah yang melakukan hal itu.



Kota Najaf terletak di Irak, begitu pula
Karbala. Sedangkan Kota Qum terletak di Iran. Kota Najaf, Karbala, dan
Qum selama ini diklaim sebagai kota suci kaum Syiah. Sepanjang tahun
kaum Syiah berziarah ke kota-kota itu karena disana ada situs-situs yang
disucikan kaum Syiah. Selama ini kaum Muslimin mengenal Masjidil Haram
di Makkah dengan sebutan Al Haram As Syarif. Namun kaum Syiah menyebut Kota Najaf dengan ungkapan Al Asyraf (artinya, lebih mulia atau paling mulia). Seolah, mereka ingin mengatakan, bahwa Najaf lebih mulia dari Kota Makkah. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun.



Fakta lain yang menunjukkan bahwa si penulis berakidah Syiah adalah pernyataan berikut ini: “Dalam
Islam, sedikitnya ada 7 mazhab yang pernah dikenal, yaitu: Mazhab Imam
Ja’far ash Shadiq (Mazhab Ahlul Bait), Mazhab Imam Abu Hanifah an
Nu’man, Mazhab Imam Malik bin Anas, Mazhab Imam Syafi’i, Mazhab Imam
Ahmad ibnu Hanbal, Mazhab Syiah Imamiyah, dan Mazhab Daud azh Zhahiri.
Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak,
termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi.
” (SBSSW, hal. 208).



Demi Allah, Ahlus Sunnah di seluruh
dunia Islam tidak akan ada yang mengatakan perkataan seperti ini.
Perkataan seperti ini hanya akan keluar dari lidah orang-orang Syiah
(Rafidhah). Lihatlah, dalam perkataan ini dia mengklaim ada 7 madzhab
dalam Islam, yaitu 4 madzhab Ahlus Sunnah, ditambah 2 madzhab Syiah
(madzhab Ja’fari dan Imamiyyah) dan 1 madzhab Zhahiri. Pendapat yang
masyhur di kalangan Ahlus Sunnah, madzhab fikih itu hanya ada 4 saja,
yaitu madzhab Abu Hanifah (Hanafi), Imam Malik (Maliki), Imam Syafi’i
(Syafi’i), dan madzhab Imam Ahmad (Hanbali). Kalau ada tambahan, paling
madzhab Zhahiri. Itu pun tidak masyhur di kalangan Ahlus Sunnah. Lalu
dalam buku SBSSW itu, si penulis Syiah berusaha membohongi kaum
Muslimin, dengan mengatakan, bahwa dalam Islam ada sedikitnya 7 madzhab.
Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Bahkan madzhab Ja’fari
dalam kalimat di atas disebut pada urutan pertama. Lebih busuk lagi,
madzhab Syiah Imamiyyah yang merupakan salah satu sekte Syiah paling
ekstrem, disebut sebagai madzhab Islam juga. Allahu Akbar!



Kalimat di atas juga mengandung kebodohan yang sangat telanjang. Coba perhatikan kalimat berikut ini: Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi. (SBSSW,
hal. 208). Kalimat seperti ini hanya mungkin dikatakan oleh orang gila.
Bayangkan, si penulis secara tegas mengklaim, bahwa madzhab Salaf itu
tidak ada. Tetapi pada kalimat yang sama, dia mengakui bahwa imam-imam
madzhab (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam
Ahmad), termasuk bagian dari ulama Salaf. Si penulis bermaksud
mementahkan eksistensi madzhab Salaf, tetapi saat yang sama dia mengakui
bahwa imam-imam madzhab itu termasuk imam madzhab Salaf. Kalau dia
jujur ingin mengatakan, bahwa madzhab Salaf tidak ada, berarti madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali juga tidak ada. Ya bagaimana lagi,
wong mereka itu imam-imam Salaf kok. Si penulis itu mengakui, bahwa
mereka adalah imam-imam Salaf.



Sangat disayangkan dalam hal ini, KH.
Ma’ruf Amin, salah satu Ketua MUI, ikut mendukung buku ini. Padahal MUI
sendiri pada tahun 1984 pernah mengeluarkan fatwa yang menjelaskan
pokok-pokok kesesatan paham Syiah menurut Ahlus Sunnah, kemudian MUI
meminta Ummat Islam mewaspadai sekte ini. (Lihat situs voa-islam.com,
tentang tersebarnya fatwa palsu MUI tentang Syiah yang ditulis anggota
MUI, Prof. Dr. Umar Shihab. Fatwa itu mengklaim bahwa paham Syiah tidak
sesat menurut MUI. Lalu redaksi voa-islam.com mencantumkan fatwa MUI
asli yang dikeluarkan tahun 1984, tentang aspek-aspek kesesatan Syiah).



Bahkan KH. Ma’ruf Amin pernah diminta MUI untuk mengkaji tentang haramnya Nikah Mut’ah di kalangan Syi’ah. (Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, karya Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, hal. 144. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, tahun 2006).



Seharusnya beliau membaca secara teliti
buku SBSSW itu, sebelum mempromosikannya ke tengah masyarakat. Kalau
ingin membantah KH. Ma’ruf Amin ini, kita merasa tidak enak, sebab
beliau termasuk ulama sepuh di negeri kita. Tetapi kalau melihat
keterlibatan beliau dalam mendukung buku SBSSW itu, kita sangat
menyesalinya. Bisakah disini dikatakan bahwa KH. Ma’ruf Amin ikut
mendukung paham Syiah? Wallahu A’lam bisshawaab. Semoga saja dukungan
KH. Ma’ruf Amin ini hanyalah merupakan ketergelinciran seorang alim dan
semoga ia segera dihapus dengan pernyataan bara’ah (berlepas
diri dari buku SBSSW itu). Kalau beliau tidak melakukannya, secara
pribadi saya akan menyebut beliau sebagai pendukung Syiah dan SEPILIS.
Siapapun yang terlibat mempromosikan ajaran sesat (Syiah dan SEPILIS)
tidak layak didoakan mendapat khusnul khatimah, karena promosi seperti
itu bisa membuat ribuan kaum Muslimin mati dalam keadaan su’ul khatimah.
Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.       



5. Pemicu pertikaian besar sesama kaum Muslimin




Buku ini bisa memicu pertikaian besar di
tengah kaum Muslimin. Mengapa dikatakan demikian? Sebab sang penulis
tidak mengidentifikasi kaum Wahabi dengan ciri-ciri yang jelas. Dengan
sendirinya masyarakat akan bingung memahami, Wahabi itu apa dan
bagaimana? Perlu diketahui, yang mengajarkan Tauhid, Sunnah, ilmu, dan
dakwah, bukan hanya dakwah Wahabi. Jamaah-jamaah Islam yang lain juga
mengajarkan hal itu.



Contoh, gerakan Ikhwanul Muslimin.
Manhaj gerakan ini merujuk kepada Ushulul Isyrin (prinsip 20) yang
diajarkan Syaikh Hasan Al Bana rahimahullah. Dalam prinsip itu
juga diajarkan tentang pentingnya Tauhid, buruknya syirik; pentingnya
Sunnah, buruknya bid’ah. Bahkan ormas Islam seperti Muhammadiyah,
Persis, Al Irsyad, Dewan Dakwah (DDII), Pesantren Hidayatullah, Wahdah
Islamiyyah, dll. juga mengajarkan Tauhid, Sunnah, ilmu, dan dakwah.
Begitu pula Majelis Mujahidin, Jamaah Ansharut Tauhiid, dan
yayasan-yayasan dakwah Salafi. Jika masyarakat salah paham, mereka akan
menyangka bahwa semua organisasi, lembaga, atau yayasan itu harus
dibenci dan dimusuhi, karena mereka dianggap Wahabi.   



6. Terang-terangan mengajarkan prinsip-prinsip kesesatan




Buku ini secara jelas telah mengajarkan
prinsip-prinsip KESESATAN secara telanjang. Disini akan disebutkan
beberapa pernyataan penulis. Coba perhatikan kalimat berikut ini: “Sesungguhnya Salaf tidak pernah sama dalam memahami berbagai masalah agama yang begitu komplek.” (SBSSW,
hal. 201). Ini adalah jenis KESESATAN BESAR. Kalimat ini jelas
meniadakan Al Ijma’ di kalangan para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut
Tabi’in. Padahal para ulama sudah sepakat, kalau suatu urusan telah
menjadi ijma’ (konsensus) mayoritas Shahabat, hal itu menjadi dasar
hukum yang kuat. Misalnya ijma’ Shahabat dalam memilih empat Khalifah
(Abu Bakar Ra, Umar Ra, Utsman Ra, dan ‘Ali Ra) sebagai pemimpin Ummat.
Ijma’ ini tidak diragukan lagi. Begitu pula ijma’ mereka dalam Jihad Fi
Sabilillah, penulisan Mushaf Al Qur’an, menyatukan bacaan Al Qur’an,
Shalat berjamaah di masjid, Shalat ‘Ied, Shalat Istisqa’,
menyelenggarakan Zakat, Shaum Ramadhan, manasik Haji, dll. Apa saja yang
dilakukan secara jama’i oleh Shahabat Ra, dan tidak ada pengingkaran
mereka atas hal itu, ia adalah Ijma’ Shahabat.



Kalau dikatakan Salaf tidak pernah sama
dalam segala masalah agama, otomatis mereka selalu berselisih dan
berselisih. Disini mengandung dua tuduhan dahsyat. Pertama, penulis itu telah menuduh para Shahabat Ra bermental buruk, sehingga sulit menyatukan kalam.



Di mata kaum Syiah, mencela, menghina,
atau merendahkan para Shahabat Ra bukan sesuatu yang aneh. Bahkan
melaknat para Shahabat itu telah menjadi amal shalih tersendiri. Na’udzbillah min dzalik.



Mereka selalu berpecah-belah, tak pernah bersatu. Kedua, penulis juga menuduh ajaran Islam sebagai biang perpecahan. Padahal secara hakiki, Islam mengajarkan prinsip Al Jamaah, yaitu persatuan Ummat. Bahkan ada ulama yang mengatakan, perpecahan adalah qurrata a’yun-nya syaitan. Karena syaitan sangat berkepentingan terhadap perpecahan Ummat



Kemudian, perhatikan kalimat berikut ini, “Siapa
saja yang ahli atau telah memenuhi syarat dalam memahami teks-teks
agama, dia berhak atas hal itu, tidak wajib mengikuti pemahaman Salaf
seperti yang disangkakan Salafi Wahabi.”
(SBSSW, hal.
205). Lihatlah betapa beraninya ucapan penulis ini! Dia begitu
meremehkan kaum Salaf, dan merasa dirinya setara dengan Salaf. Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun.
Sudah masyhur tentang kisah Imam Malik rahimahullah. Beliau pernah
ditanya 40 pertanyaan, dan sebagian besar pertanyaan itu dijawab dengan
kalimat, “Laa ad-riy” (aku tidak tahu). Hanya satu pertanyaan
yang beliau jawab. Lihatlah, betapa sangat hati-hatinya Imam Malik dalam
berfatwa. Padahal siapa yang meragukan pengetahuan beliau tentang
Islam? Ajaran yang menyuruh Ummat Islam mengikuti jejak Salafus Shalih, bukanlah monopoli kaum Wahabi. Hal itu disebutkan dalam Al Qur’an, Surat At Taubah ayat 100:



“Dan orang-orang yang mula pertama masuk
Islam, dari kalangan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan ihsan, Allah ridha kepada mereka, dan
mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah telah menyediakan bagi mereka
syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan besar.”



Disini ada kalimat “walladzinat taba’uu hum bil ihsan” (dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan). Ini adalah dalil qath-iy tentang pentingnya mengikuti jejak Salafus Shalih (para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in).



Lucunya, si penulis dalam bukunya ternyata getol
mengikuti konsep keilmuwan yang ditinggalkan para Salaf, setidaknya
dalam soal riwayat hadits-hadits. Bisa dikatakan disini, “Tanpa peranan
generasi Salaf, kita hari ini tidak akan memiliki ilmu apapun.” 



Di halaman lain penulis SBSSW berkata: “Bagaimana
mungkin mereka mengharuskan kita mengikuti madzhab Salaf, kalau namanya
saja tidak ada? Sebab tidak pernah ada dan tidak pernah dikenal dalam
sejarah peradaban umat Islam, apa yang dinamakan madzhab Salaf.
” (SBSSW,
hal. 207-208). Ini adalah puncak kebodohan si penulis. Memang dalam Al
Qur’an atau As Sunnah, tidak disebutkan secara eksplisit “madzhab
Salaf.” Tetapi kaum Salaf itu ada dan nyata. Kaum Salaf adalah para
Shahabat Nabi, Khulafaur Rasyidin, Ahlul Bait Nabi, kaum Muhajirin, kaum
Anshar, peserta Perang Badar, peserta Bai’at Ridhwan, dll. Begitu pula
Imam madzhab fiqih, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I,
Imam Ahmad bin Hanbal; para imam ahli hadits, seperti Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam Ibnu Majah, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i,
Imam Baihaqi, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ad Darimi, dll. Semua itu adalah
kaum Salaf. Mereka ada dan nyata. Hanya orang-orang pandir yang akan mengingkari mereka.



Kita tidak perlu mencari-cari sebutan
“madzhab Salaf” untuk mengikuti jejak mereka. Adanya eksistensi kaum
Salaf yang merupakan generasi terbaik Ummat ini, itu sudah menunjukkan
adanya manhaj Salaf. Seperti pernyataan kaum Badui yang masih bersih
fithrah ketika ditanya tentang eksistensi Allah. “Adanya jejak kaki dan
kotoran hewan, bisa menunjukkan adanya kafilah yang melintasi padang
pasir. Begitu pula, adanya bintang-bintang di langit menunjukkan adanya
Sang Pencipta alam semesta.” Adanya suatu kaum yang memiliki sifat-sifat
tertentu, hal itu sudah membuktikan adanya manhaj kaum tersebut. Kalau
kemudian manhaj Salaf hendak dibuang, jelas akan bubar agama ini. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
Bagaimana bisa kita memahami Islam, tanpa metode yang dicontohkan kaum
Salaf? Adapun bentuk mengikuti manhaj Salaf itu secara kongkritnya ialah
mengikuti dan melestarikan kaidah-kaidah ilmiyah yang diwariskan kaum
Salaf di bidang Al Qur’an, Tafsir, ilmu Hadits, Akidah, Fiqih, Ibadah,
hukum Haad, Siyasah, Suluk, ilmu bahasa, sastra Arab, dll. Sejauh kita
beragama mengikuti kaidah-kaidah ilmiah itu, berarti kita telah
mengikuti Salaf. Dan kaidah-kaidah inilah yang selama ini hendak
dihancurkan oleh para penganut SEPILIS.   



7. Kurang ajar kepada para Ulama




Buku ini mengajarkan sikap kurang ajar
kepada para ulama yang telah diakui oleh Ummat. Perilaku seperti ini
sudah khas menjadi ciri kaum Syiah dan SEPILIS. Mereka tidak segan-segan
menyerang Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Az Zuhri,
bahkan melecehkan para Shahabat Ra. Salah satu bukti sikap kurang ajar
ke ulama ialah perkataan penulis berikut ini: “Menurut
hemat penulis, dalam masalah ini (yaitu soal apakah Al Qur’an itu
makhluk atau bukan –pen.), Imam Ahmad lah yang keliru. Sebab Allah SWT
secara terang berfirman dalam Al Qur’an, ‘Ma ya’tihim min dzikrin min robbihim muhdatsin’ (tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur’an pun yang muhdats/baru dari Tuhan mereka).
” [QS. Al Anbiya’: 2].



Lihat, betapa lancangnya si penulis
dalam membantah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah! Dia merasa lebih
pandai dari Imam Ahmad. Masya Allah.



Dengan berdalil memakai surat Al Anbiya’
ayat 2 ini, penulis hendak mematahkan akidah Imam Ahmad bin Hanbal,
bahwa Al Qur’an itu Kalamullah, bukan muhdats (ciptaan baru).
Menurut si penulis, Al Qur’an itu ciptaan baru alias makhluk. Namun
sangat curangnya, dia memotong kelanjutan dari ayat tersebut.
Kelanjutannya adalah, “Illa istama’uhu wa hum yal’abuun
(melainkan mereka mendengarkan, namun dengan main-main). Jadi yang
dimaksud dalam Surat Al Anbiya’ ayat 2 itu ialah celaan terhadap sikap
buruk orang musyrikin, tatkala datang ayat-ayat Allah yang baru (karena
memang Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur), mereka
mendengarkan tetapi sambil bermain-main. Ayat ini berkaitan dengan
kelakuan orang musyrik, bukan dalil bahwa Al Qur’an itu makhluk. Kalau
tidak percaya, silakan Pembaca periksa sendiri ayat tersebut menurut
versi terjemahan paling popluler di Indonesia, yaitu Departemen Agama
RI. Ulama akidah menjelaskan, bahwa keyakinan ‘Al Qur’an itu makhluk’,
apabila didasari pengetahuan dan kesengajaan, akan membuat kafir
pelakunya. Sebab dengan keyakinan itu mereka hendak menyamakan Al Qur’an
dengan makhluk, yang tentu di siksi makhluk terdapat banyak kelemahan
dan kesalahan. Siapapun yang meyakini demikian, berarti dia telah kufur
kepada Al Qur’an. Padahal salah satu syarat keimanan adalah at tashdiqu bil qalbi
(pembenaran dengan hati). Kalau hatinya sudah kufur kepada Al Qur’an,
otomatis imannya pun gugur. Maka orang-orang Syiah yang meyakini bahwa
Al Qur’an telah diubah-ubah oleh para Shahabat Nabi Saw termasuk ke
golongan gugur iman itu. Na’udzubillah minal kufri.



Di sisi lain, penulis ini dengan sangat lancang mengatakan: “Jadi
benar apa yang disangkakan selama ini, bahwa ternyata Salaf yang mereka
maksud, tidak lain dan tidak bukan, adalah Ibnu Taimiyah dan CS-nya.”
(SBSSW, hal. 220). Begitu juga: “Sudah
jelaslah, siapakah sebenarnya yang mereka ikuti, yakni Ibnu Taimiyah,
Ibnu Abdul Wahab dan CS-nya, yang mereka klaim sebagai ‘Salaf’.”
(SBSSW,
hal. 222). Menyebut ulama besar dengan kata “CS-nya” bukanlah adab
manusia terpelajar. Ia hanya pantas dilakukan manusia-manusia otak
kotor. Lebih buuk lagi si penulis mengatakan: “Begitu
juga dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh pendiri Wahabi –sosok
temperamental dan kejam yang telah membunuhi ribuan umat Islam semasa
hidupnya-, hampir semua ulama yang hidup sezaman dengannya menganggap
ajarannya sesat.”
(SBSSW, hal. 223).



Jahatnya, si penulis sama sekali tidak
pernah bisa membuktikan, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah
membunuh manusia, apalagi sampai ribuan manusia. Itu tak ada bukti valid
yang bisa dipegang.



Penulis ini tentu saja tidak segan
melecehkan ulama-ulama besar lain, seperti Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu
Utsaimin, Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Jibrin, Syaikh Shalih Fauzan,
bahkan melecehkan dewan fatwa Saudi, Lajnah Da’imah. Kalau sudah begini, apalagi yang bisa diharapkan dari penulis ini? Masih adakah kebaikan disana?



8. Memakai metode intelijen untuk mengadu-domba umat Islam




Dalam mengkritik gerakan dan paham Wahabi, penulis jelas-jelas menggunakan metode TAJASSUS alias mencari-cari kesalahan. Cara demikian biasanya dilakukan kalangan intelijen anti Islam, untuk mengadu-domba Ummat.
Metode tajassus bukan metode ilmiah, tetapi termasuk metode khianat
dalam ilmu. Metode tajassus pertama kali dikembangkan oleh Fir’aun dan
Bani Israil, ketika mereka selalu mencari-cari kesalahan Musa As. Bahkan
tajassus itu termasuk perbuatan haram. Dalam Al Qur’an disebutkan, “Wa laa tajas-sasuu” (dan janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan). [Al Hujuraat: 12].



Di hadapan sikap tajassus, tidak ada
seorang manusia pun yang selamat dari kesalahan. Namanya juga
mencari-cari kesalahan; kalau tidak ketemu, ya dipaksakan agar tetap ada
kesalahan. Dalam buku SBSSW itu penulis menyebut fatwa Syaikh Bin Baz
tentang “bumi tidak berputar.” Di antara sekian banyak fatwa-fatwa
Syaikh Bin Baz yang bermanfaat, sehingga Dr. Yusuf Al Qaradhawi pernah
menyebut beliau sebagai Al Imamul Jazirah, ternyata oleh
penulis diambil fatwa tentang “bumi tidak berputar ini” (hal. 220-221).
Begitu pula penulis ini menyebut pendapat Ibnu Taimiyyah yang ganjil
tentang “siksa neraka untuk orang kafir tidak kekal” (hal. 184).
Pendapat-pendapat seperti ini bukan pendapat utama mereka. Ia adalah
pendapat “recehan” di sisi sedemikian banyak pendapat-pendapat mereka
yang berkualitas. Tetapi karena memang dasarnya benci, apapun kesalahan
yang dijumpai akan dipakai untuk menyerang.



Salah satu yang lucu ialah ketika si penulis mengutip pandangan Dr. Said Ramadhan Al Buthi dalam bukunya, As Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah Laa Madzhab Islami.
(SBSSW, hal. 27). Dengan dasar buku ini dia menuduh ulama-ulama Wahabi
tidak mengikuti madzhab apapun. Padahal para ahli-ahli Islam sudah mafhum,
bahwa ulama-ulama Saudi, termasuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah, bahkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, mereka itu pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Ini sangat nyata dan jelas.



Dalam soal “Al Qur’an adalah Kalamullah”
jelas-jelas mereka mengikuti akidah Imam Ahmad. Begitu pula Bahkan
Syaikh Al Albani rahimahullah telah menyusun kitab Al Irwa’ul Ghalil, sebanyak total 9 jilid. Kitab ini berisi takhrij hadits-hadits yang termuat dalam kitab Manarus Sabil yang menjadi pegangan fiqih madzhab Hanbali. Ulama-ulama Wahabi pun giat memberikan syarah terhadap kitab Aqidah Thahawiyyah, yang bersumber dari akidah Imam Abu Hanifah rahimahullah. Dan begitu bencinya penulis ini kepada Wahabi, sampai dia menulis: “Pembagian
tauhid semacam itu tidak terdapat juga di dalam karya murid-murid Imam
Ahmad bin Hanbal yang terkenal seperti Ibnu Al Jauzi dan Al Hafizh Ibnu
Katsir.”
(SBSSW, hal. 236).



Kalau dunia ilmiah sudah dimasuki metode tajassus ini, hasilnya
hanyalah kerusakan, dendam, dan kesesatan. Tidak ada kebaikan dari
metode yang dibangun di atas cara haram. Bukankah tajassus diharamkan
dalam Al Qur’an?           




9. Penulisnya tertimpa penyakit Gila




Penulis ini (Idahram) termasuk
orang-orang yang sudah tertimpa penyakit “gila.” Di dalam bukunya ini
tercampur-baur berbagai macam pemikiran, akidah, fitnah, kebohongan,
dendam kesumat, kecurangan, dan sebagainya. Bahkan di dalamnya terdapat
banyak kontradiksi-kontradiksi.



Contohnya, perhatikan kalimat berikut ini: “Kita
harus melepaskan pemahaman-pemahaman tersebut dan kembali kepada Al
Qur’an, Sunnah Rasul SAW, dan ilmu bahasa Arab sebagai alatnya. Lalu,
kita pakai otak kita untuk memahami dan menelaah perkara-perkara yang
diperselisihkan tersebut, sehingga akan jelas bagi kita saat itu, mana
pendapat yang benar dan mana yang salah di antara mereka. Kita kembali
kepada pemahaman kita, bukan kepada pemahaman Salaf.”
(SBSSW, hal. 211).



Lihatlah betapa beraninya penulis dalam
meninggikan otaknya di atas ilmu para Salaf yang mulia. Kemudian baca
kalimat berikut ini: “Sebab,
jika semua orang Arab ‘berhak’ untuk menafsirkan Al Qur’an sekehendak
hatinya, tanpa mengerti rambu-rambunya, dan boleh berijtihad tanpa
keahlian yang dia miliki, maka semua orang Arab menjadi ulama. Namun
kenyataannya tidaklah demikian. Tidak semua orang Arab mengerti agama,
bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal. Itulah
sebabnya, kenapa tidak sembarang orang boleh berijtihad dan mengeluarkan
fatwa.”
(SBSSW, hal. 224).



Dua kutipan ini tentu sangat
mencengangkan; satu sisi memberi kebebasan penuh kepada akal untuk
mencerna perselisihan-perselisihan agama; di sisi lain tidak boleh
sembarangan memahami agama dengan akal sendiri. Padahal jarak antara
kalimat pertama dan kedua hanya beberapa halaman saja. 



Kegilaan itu merata dalam buku si
penulis. Ketika dia membahas hadits-hadits tentang Najd, dia mengklaim
bahwa Najd adalah tempatnya fitnah, tempatnya puncak kekafiran,
tempatnya “tanduk setan.” Tetapi ketika membahas tentang kekejaman kaum
Wahabi (seperti yang dituduhkan penulis), dia menyebutkan kota-kota di
Najd yang menjadi sasaran keganasan kaum Wahabi, seperti Thaif, Qashim,
Ahsa, Uyainah, Riyadh, Syammar, dan lainnya. (Lihat SBSSW, hal. 77-106).



10. Mendukung serangan kaum Islamophobia terhadap dakwah




Dan terakhir, di antara bahaya terbesar
di balik tersebarnya buku ini, adalah suatu kenyataan, bahwa Wahabi
hanya merupakan SASARAN KESEKIAN dari serangan orang-orang ini. Serangan
ini merupakan satu agenda, di samping agenda-agenda serangan lain.



Tentu kita masih ingat munculnya buku, “Ilusi Negara Islam.
Di sana gerakan-gerakan dakwah Islam internasional juga mendapatkan
stigmatisasi, dengan label “gerakan transnasional.” Tujuannya, agar
masyarakat Indonesia membenci gerakan-gerakan dakwah dari luar negeri
itu.



Kita menyadari, kaum Syiah, penganut
SEPILIS, Yahudi-Nashrani, orientalis Barat, aliran-aliran sesat, mereka
sudah sepakat untuk menghancurkan fondasi ajaran Islam dari
dasar-dasarnya. Siang malam mereka berjuang untuk merealisasikan tujuan
penghancuran Akidah, Syariat, dan Peradaban Islam. Seperti LSM SETARA Institute.



Adalah sangat ajaib ketika Said
Agil Siraj, Ketua PBNU, memberikan dukungan terbuka terhadap buku SBSSW
ini. Apa tujuannya? Apakah ingin menghancurkan dakwah Islam, ilmu
Syariat, merusak persatuan Ummat, dan mencerai-beraikan proyek-proyek
pembangunan Islam selama ini? Di mana kualitas intelektualitas seorang
Said Agil Siraj sebagai “profesor doktor” dan Ketua PBNU? Tidak ingatkah
Said Agil Siraj bahwa dia mendapat gelar doktor setelah menamatkan
studi di Universitas Ummul Qura’, yang dikelola kaum Wahabi?



Kalau kata orang Jawa Timur, “Yo, sing nduwe isin-lah, Pak!”
Anda sudah kenyang mendapat fasilitas dari kaum Wahabi, bahkan
anak-anak Anda lahir di bawah kemurahan kaum Wahabi, lalu kini Anda ikut
menyerang paham Wahabi dengan membabi-buta. Apakah dulu di pesantren
Anda tidak diajari pelajaran adab seorang Muslim?



Kalau membaca buku SBSSW itu, saya yakin
bahwa posisi Said Agil Siraj ini –semoga Allah membalas perbuatannya
secara adil dan menjadi ibrah besar bagi kaum Muslimin di Nusantara-
bukan hanya sebagai pemberi kata pengantar. Saya yakin, Said Agil Siraj
terlibat langsung di balik proyek penerbitan buku-buku propaganda ini.



Menurut Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, sosok
Said Agil Siraj ini pernah dikafirkan oleh 12 orang kyai. Ada pula yang
melayangkan surat ke Universitas Ummul Qura, meminta supaya mereka
mencabut gelar doktor Said Agil. (50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, karya Budi Handrianto, hal. 160. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2007).



Demikianlah sekilas pandangan tentang buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi,”
karya Syaikh Idahram. Buku ini andaikan ditulis dengan semangat
kejujuran, metode ilmiah Islami, serta upaya melakukan koreksi terhadap
sesama Muslim, dalam rangka memperbaiki kehidupan Ummat; tentu upaya itu
akan disambut dengan rasa syukur. Sekurangnya, ia akan dipandang
sebagai sumbangan ilmiah berharga. Tetapi dengan performa judul, metode
penulisan, serta sekian banyak kecurangan yang dilakukan penulis; tidak
diragukan lagi bahwa buku SBSSW itu ditujukan untuk merusak kehidupan
kaum Muslimin.



Secara pribadi saya menghimbau agar para
ahli-ahli Islam segera “turun tangan” untuk membuat analisis obyektif
atas buku SBSSW itu. Kemudian hasilnya, silakan sampaikan kepada
khalayak kaum Muslimin. Saya sendiri berpandangan, buku ini sangat
berbahaya, dan sudah selayaknya di-black list, atau ditarik dari peredaran.



Akhirul kalam, semoga Allah Subhanahu Wa
Ta’ala selalu merahmati kaum Muslimin di negeri ini, menolong mereka
atas segala prahara berat yang menimpa, menyantuni mereka atas segala
konspirasi jahat yang dilontarkan musuh-musuh Islam, serta meluaskan
hidayah ke seluruh sudut negeri, agar lebih banyak manusia yang hidup di
atas keshalihan; bukan di atas khianat, kedengkian, dan permusuhan
terhadap Islam. 








Allahumma amin.  


Wallahu a’lamu bis-shawab.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar