Sabtu, 30 Juli 2011

Shalat Tarawih ( part 1 )





Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang
melakukan shalat tarawih beristirahat  setelah melaksanakan shalat
empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam.
Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi,
shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan.[1]






Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu
dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan
shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang
dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja.[2]






Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah
(dianjurkan). Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah,
hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat
ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan
salah satu syi’ar Islam.[3]






Imam Asy Syafi’i, mayoritas ulama Syafi’iyah, Imam Abu Hanifah, Imam
Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa lebih afdhol shalat
tarawih dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar
bin Al Khottob dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum
muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih secara berjama’ah
karena merupakan syi’ar Islam yang begitu nampak sehingga serupa dengan
shalat ‘ied.[4]






Keutamaan Shalat Tarawih






Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.



Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ



Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”
(HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan
adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.[5] 


Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa
dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh
Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan
lainnya.[6]






Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa
mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits,
sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan
bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa
kecil.[7]






Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.



Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,






إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً



Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[8] 


Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan
shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.






Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.






Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa
seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan
secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat
fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib
(shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat
yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf
(shalat gerhana) kemudian shalat tarawih.[9]






Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam






Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,



مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah
jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam
shalat lainnya lebih dari 11 raka’at
.”[10]








‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan,



أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ ، فَصَلَّى فِى
الْمَسْجِدِ ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ
فَتَحَدَّثُوا ، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ ،
فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ
اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
– فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ
عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ ،
فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ، فَتَشَهَّدَ ثُمَّ
قَالَ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ مَكَانُكُمْ ،
لَكِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا »



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar
di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang
kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya
orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam
berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat
dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan
kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang
hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka shalat
bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh
dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh.
Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang
banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku
bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut
shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak
mampu
.”[11]






As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga
hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan
Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan
jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan
bahwa jumlah raka’at tarawih yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at.
Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun
tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam
keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat
tarawih adalah wajib.” [12]






Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun
yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan
shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20
raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.”[13]






Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu
adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak
lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah
ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.”[14]






Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan






Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.



Juga terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,



كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ



Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari[15].


Di antara dalilnya adalah ‘Aisyah mengatakan,



كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ
بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak
melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan
melaksanakan shalat dua rak’at yang ringan
.”[16] 


Dari sini menunjukkan bahwa disunnahkan sebelum shalat malam, dibuka dengan 2 raka’at ringan terlebih dahulu.














[1] Lihat Al Jaami’ Li Ahkamish Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.

[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.



[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631.



[4] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.



[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.



[6] Lihat Fathul Bari, 4/251.



[7] Idem.



[8]
HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan
Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkan hadits ini. Syaikh Al Albani dalam Al
Irwa’ no. 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih.



[9] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9633.



[10] HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738.



[11] HR. Bukhari no. 924 dan Muslim no. 761.



[12] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9635



[13] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9635



[14] Fathul Bari, 4/254.



[15] Fathul Bari, 3/21.



[16] HR. Muslim no. 767.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar