Sabtu, 30 Juli 2011

Shalat Tarawih ( Part 2 )





Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan  bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.



Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak
memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat
nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa
saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh
mengerjakan banyak.”[1]






Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.



Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,






صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى



Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di
antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at.
Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.
[2] Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.






Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,



فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ



Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”[3]






Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,



فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً



Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah
melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu
kesalahanmu
.”[4]
Dalil-dalil ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa kita dibolehkan
memperbanyak sujud (artinya: memperbanyak raka’at shalat) dan sama
sekali tidak diberi batasan.






Keempat, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.



Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana kaedah yang diterapkan dalam ilmu ushul.



Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di
bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi
shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. … Barangsiapa
yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan
raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.”[5]



Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11
raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan
memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak
ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah
tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di
atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum
tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada
dalil yang bertentangan.



Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama.
Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua
puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun
dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia
melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir
sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih
ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam
ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan
bacaan yang begitu panjang.”[6]



Keenam, manakah yang lebih utama melakukan shalat
malam 11 raka’at dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka’at yang
dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga jam?



Yang satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam dari segi jumlah raka’at. Namun yang satu mendekati ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara ini yang lebih baik?



Jawabannya, tentu yang kedua yaitu yang shalatnya lebih lama dengan 
raka’at yang lebih banyak. Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang
yang waktu malamnya digunakan untuk shalat malam dan sedikit tidurnya.
Allah Ta’ala berfirman,



كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ



Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)



وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا



Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian  yang panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)






Oleh karena itu, para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya
dengan 11 raka’at namun dengan raka’at yang panjang. Ada pula yang
melakukannya dengan 20 raka’at atau 36 raka’at. Ada pula yang kurang
atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi ajaran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang mereka inginkan adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri yang lama).






Sampai-sampai sebagian ulama memiliki perkataan yang bagus,
“Barangsiapa yang ingin memperlama berdiri dan membaca surat dalam
shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka’at yang sedikit.
Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat, hendaklah
ia menambah raka’atnya.”





Mengapa ulama ini bisa mengatakan demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika shalat malam.[7]






Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih






Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama
dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.






Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.






Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at
(belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats
Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan
dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah
kesepakatan (ijma’) para sahabat.



Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk
melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab
radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at.
Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi
ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”






Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”



Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”






‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi
amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di
berbagai negeri.”



Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang
dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’
atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah
banyak.”[8]






Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at
dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki
dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan
riwayatnya shahih.






Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at
dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh
‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau
witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam
di bulan Ramadhan dengan jumlah raka’at yang tak terhitung  sebagaimana
dikatakan oleh ‘Abdullah, anaknya[9].[10]



Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh
dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai
macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah
melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau
jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka
lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan
witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam
kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.



Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at
yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah
yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak
ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara
jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun
seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu
juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para
ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan
ulama lainnya.






Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di
bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11
raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”[11]



Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim
bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini.  Sungguh tidak
tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah
shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena
mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at
atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.






Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya






Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan
shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak
lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan
berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas
ulama.



Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ



Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.”[12]



Dari Abu Hurairah, beliau berkata,



عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا



Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.”[13] Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits  di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.”
Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di
atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah
ketika membaca surat, ruku’  dan sujud.[14]






Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan
kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas.
Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai
dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat
tarawih dilakukan dengan penuh thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan.
Karena ingatlah bahwa thuma’ninah (bersikap tenang) adalah bagian dari
rukun shalat.














[1] At Tamhid, 21/70.

[2] HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar.



[3] HR. Muslim no. 489



[4] HR. Muslim no. 488



[5] Majmu’ Al Fatawa, 22/272.



[6] Majmu’ Al Fatawa, 22/272



[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/414-416 dan At Tarsyid, hal. 146-149.



[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9636



[9] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267



[10] Lihat perselisihan pendapat ini di Shahih Fiqh Sunnah, 1/418-419.



[11] Majmu’ Al Fatawa, 22/272



[12] HR. Muslim no. 756



[13] HR. Bukhari no. 1220 dan Muslim no. 545.



[14] Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar